Google

Facebook

Pengikut

BUKU TAMU

Pendahuluan
Secara alamiah, manusia memang memiliki naluri untuk hidup bersama-sama dengan manusia lainnya. Dorongan mendasar yang melahirkan naluri untuk hidup bersama-sama itu adalah karena manusia harus memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya yang sangat tidak mungkin akan dipenuhi, ketika manusia tidak hidup berkelompok. Sosiologi kemudian mengidentifikasi manusia yang berkelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dan dorongan pemecahan kebutuhan hidup yang asasi itu sebagai masyarakat. Meskipun begitu, menyebut masyarakat bukan tidak mengandung problematika. Menyebut masyarakat, setidaknya ada dua asumsi yang muncul. Asumsi pertama adalah sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang atau individu-individu. Karena sangat tidak mungkin akan terbentuk sebuah masyarakat ketika tidak ada orang-orang atau individu-individu. Tanpa sejumlah orang tertentu yang dapat disebut sebagai masyarakat, beberapa keluarga mungkin akan menjadi jumlah minimal yang dapat dianggap setiap orang sebagai jumlah yang mencukupi untuk membentuk sebuah masyarakat kecil.[1]

Tetapi sekumpulan orang saja tanpa memenuhi persyaratan tertentu tidak bisa disebut sebagai masyarakat. Untuk memenuhi syarat sebagai sebuah masyarakat, para individu harus berinteraksi dengan cara tertentu. Ketika orang tidak bisa berkomunikasi satu sama lain, atau ketika sekelompok orang selalu terlibat dalam pertempuran yang agresif dan tiada henti, sehingga interaksi yang mereka lakukan tidak lagi bersifat sosial, maka sebesar apapun individu yang berkelompok itu tidak dapat disebut sebagai masyarakat.[2] Karena satu syarat mutlak yang mesti ada dalam sebuah masyarakat adalah hubungan sosial yang didefinisikan sebagai interaksi-interaksi yang bersifat teratur dan mencakup kesadaran timbal balik dan komunikasi simbolis. Singkat kata, menurut Hobbes, masyarakat adalah seperangkat cara bertingkah laku yang saling terkait yang sebelumnya telah ada, yang menyatu ke dalam tingkah laku dan psikologi manusia individual dan mengontrol semua masyarakat yang khas dan bersifat manusiawi dalam diri mereka. [3]

Asumsi kedua adalah dalam sekelompok masyarakat yang terdiri atas orang-orang itu, dengan sendirinya merupakan susunan atau kumpulan dari sejumlah kepentingan, identitas dan dorongan yang berbeda. Idealnya, interaksi sosial di antara kepentingan, identitas dan dorongan yang berbeda itu akan melahirkan ketergantungan di antara masing-masing kelompok dalam masyarakat, sehingga, teoretis, sikap saling ketergantungan itu akan melahirkan harmoni. Tetapi, dalam kondisi semacam ini, harmoni justru seringkali susah dicapai. Kendala utamanya adalah ketika identitas, kepentingan dan dorongan yang berbeda itu bergesek satu sama lain untuk mendapat wilayah pengakuannya di tengah masyarakat. Ketika perang kepentingan itu terjadi, maka hampir dapat dipastikan bahwa konflik akan segera pecah.

Benih-benih Konflik
Para penganut teori fungsionalisme struktural menyakini bahwa faktor-faktor yang memicu konflik umumnya lahir di luar komponen masyarakat, karena masyarakat sebagai sebuah sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau equilibrium yang dibangun di atas konsensus anggota masyarakat akan nilai-nilai umum tertentu.[4] Akibatnya, para penganut teori ini cenderung apologetik dalam melihat dinamika internal dalam masyarakat. Apologi itu bisa diidentifikasi dalam beberapa pengabaian kelompok fungsionalis struktural terhadap sejumlah kondisi sosial, yaitu: (a) setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat internal, yang pada gilirannya justru akan menjadi sumber bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial; (b) reaksi suatu sistem sosial terhadap perubahan dari luar (extra-system change) tidak selalu bersifat adjustive (penyesuaian); (c) suatu sistem sosial, dalam waktu yang panjang dapat juga mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat vicious circle; (d) perubahan-perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian yang lunak (soft adjustive), akan tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner.[5]

Pengabaian ini secara kontras berhadap-hadapan dengan teori konflik Marxian yang meyakini masyarakat manusia sebagai proses perkembangan yang akan meyudahi konflik dengan konflik. Paradigma konfliktual Marx dalam memandang masyarakat manusia ini didasarkan pada pembagian kelas yang secara intrinsik merupakan ‘’legitimasi’’ atas terjadinya konflik sosial. Bahkan Marx mengidentifikasi pertentangan di antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat itu sebagai engine bagi terjadinya perubahan sosial (social change).[6] Kelas sosial oleh Marx didefinisikan sebagai pemilikan terhadap barang-barang (property). Pemilikian semacam inilah yang mendorong seseorang dengan kekuatannya untuk mengeluarkan orang lain dari kepemilikan dan menggunakan kepemilikannya itu untuk tujuan-tujuan pribadi. Berkaitan dengan pemilikan, ada tiga kelas sosial besar dalam masyarakat yang diintrodusir oleh Marx, yaitu: Kelas Borjuis (yang menguasai sarana produksi dan sumber pendapatannya berasal dari laba); Kelas Pemilik Tanah (Landowners), yang berpenghasilan dari sewa dan Kelas Proletar atau buruh yang hanya memiliki tenaga (labor) dan menjual tenaganya itu untuk mendapatkan upah. Kelas sosial, bagi Marx, dibedakan oleh oleh pemilikan sumber dan sarana-saran produksi dan bukan oleh pendapatan atau status. Hubungan antara kelas borjuis sebagai pemilik modal dan sarana-sarana produksi dan kelas buruh bersifat sangat eksploitatif. Pemerasan tenaga buruh yang tidak diimbangi dengan perhatian terhadap kesejahteraan mereka menyebabkan terjadinya pemiskinan massal. Tapi, eksploitasi besar-besaran terhadap buruh itu pada gilirannya akan melahirkan proses over production (produksi yang berlebih) yang tidak seimbang dengan daya beli masyarakat. Pada saat itulah masyarakat kapitalis akan runtuh. Keruntuhan kelas pemilik modal, secara simultan akan diikuti dengan bangkitnya kelas proletar untuk merebut faktor-faktor produksi sebagai jalan untuk melakukan perubahan ekonomi besar-besaran. Klimaksnya, terjadilah suatu masa yang oleh Marx disebut sebagai revolusi sosialis.[7]

Lalu bagaimanakah dengan kondisi masyarakat dunia kontemporer saat ini pasca ramalan Marx tersebut? Ternyata dalam banyak hal revolusi sosialis yang diyakini oleh Marx akan terjadi itu tidak pernah terwujud. Bahkan yang muncul ke permukaan adalah bangkrutnya ideologi sosialisme yang seolah-olah tidak berdaya di hadapan hegemoni ideologi kapitalisme. Berbarengan dengan bangkrutnya sosialisme di berbagai belahan dunia, lahir pula sejumlah paradoks yang secara universal terjadi di beberapa belahan dunia. Di satu sisi, kita menyaksikan adanya upaya-upaya maupun proses penyatuan, standarisasi, bahkan unifikasi dan uniformasasi dan sekaligus sentralisasi pada level global aspek-aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik. Berbagai satuan ekonomi dan politik yang dulu diandaikan sebagai ‘’batas-batas absah’’ dari sebuah negara bangsa dan batas-batas imajiner dari kekuasaan nasionalisme[8] kini telah runtuh oleh satu gelombang besar baru yang bernama globalisasi. Di tengah upaya itu, berbagai fenomena upaya pemisahan diri dari berbagai wilayah dari negara kesatuan justru menampakkan eskalasinya. Keinginan untuk melepaskan diri dari wilayah kesatuan ini, ada kalanya muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan (dissatisfaction) terhadap pemerintahan pusat yang dianggap diskriminatif dalam mendistribusikan hak-hak politik dan ekonomi mereka. Tetapi pada saat yang lain, fenomena disintegrasi itu merupakan refleksi dari pertarungan kepentingan yang saling berlawanan antara satu kelompok kepentingan dengan kelompok kepentingan lainnya, sehingga mereka selalu berada dalam situasi konflik. Lebih khusus, konflik itu lahir sebagai akibat dari terbatasnya distribusi otoritas dalam masyarakat.[9] Konsekwensinya, bertambahnya otoritas satu pihak, berarti berkurangnya otoritas pihak yang lain. Jika kontradiksi kepentingan itu tidak bisa dikendalikan, maka konflik kepentingan itu akan berwujud ke dalam kekerasan (violence).

Dinamika Konflik
Di banyak negara Dunia Ketiga yang tengah mengalami masa transisi demokrasi, kekerasan massa umumnya menjadi fenomena yang lazim ditemui. Sangat bisa difahami bahwa peralihan dari pemerintahan otoritarian kepada pemerintahan demokrasi dalam banyak kasus, tidak hanya mengakibatkan munculnya pscychological shock tetapi juga culture shock. Dalam kondisi semacam ini masing-masing pihak mengklaim sebagai komunitas yang paling berhak terhadap akses sumber-sumber negara. Lagi-lagi, di sinilah kepentingan yang saling kontradiktif itu kembali terjadi. Klaim sebagai pihak yang paling otoritatif terhadap sumber-sumber negara dan wilayah publik itu diperparah dengan pemahaman tentang kebebasan baru yang sangat sepihak dan subyektif. Sehingga apa yang oleh satu kelompok dianggap sebagai satu kebebasan, oleh kelompok lain justru dianggap sebagai ‘’ancaman.’’

Lebih khusus lagi, wilayah-wilayah sosial yang rawan konflik itu adalah wilayah agama, kepentingan dan identitas primordial. Atau tidak jarang, kombinasi dari ketiganya merupakan faktor yang memicu lahirnya konflik dan kekerasan sosial. Tetapi para pengamat membagi tingkat sensitivitas wilayah itu secara sederhana. Bahwa yang paling rawan konflik adalah wilayah agama dan etnis. Dalam sosiologi konflik seringkali disebutkan bahwa sepanjang pertentangan yang terjadi itu menyangkut kepentingan (interest) masih sangat mungkin dicarikan jalan keluarnya. Tetapi ketika menyangkut identitas, baik agama maupun etnisitas, pemecahannya menjadi sangat sulit dilakukan. Berbagai aksi kerusuhan massa yang melibatkan berbagai suku di tanah air akhir-akhir ini, tampil sebagai contoh yang cukup baik.

Meskipun perbedaan etnis tidak harus selalu dimaknai sebagai jalan bagi munculnya open conflict, tetapi fakta membuktikan bahwa konflik etnis adalah model konflik yang paling sering terjadi. Dede Oetomo menengarai hal ini sebagai akibat dari simplifikasi yang ketat terhadap identitas primordial.[10] Di samping itu, hidup dalam perbedaan etnis mengandung pengertian bahwa orang lain (others) tidak hanya sulit diatur, tetapi mereka seringkali menyebabkan kekerasan, menciptakan instabilitas yang luas bahkan mendorong penghilangan nyawa.[11] Meskipun konflik etnis lahir secara spontan dan sporadis, namun menyelesaikannya memerlukan kebijakan politik. United Nation Research Institution for Social Development (Unrisd), dalam sebuah publikasi hasil penelitiannya membagi konflik etnis ke dalam empat kategori atau kombinasi darinya, yaitu: Gerakan Separatis, Perlawanan Penduduk Pribumi, Perebutan terhadap Sumber-sumber Negara dan Hak-hak Minoritas.

Gerakan Separatis
Konflik etnis dalam wujud gerakan separatis dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk: pemisahan diri dari wilayah negara dan otonomi internal. Apa yang menentukan pilihan suatu kelompok tidak selalu jelas. Seperti kasus Sudan People’s Liberation Army (SPLA) dan Liberation Tiger of Tamil Eelam (LTTE). Penduduk Sudan Selatan dan Kelompok Tamil di Sri Lanka menghadapi tipe diskriminasi yang serupa dari kelompok dominan di kedua negara itu. Arab di Sudan dan Sinhala di Sri Lanka. Penduduk Sudan Selatan berjuang melawan Arabisasi, Islamisasi, kontrol yang terlalu ketat pada tanah dan sumber-sumber kekayaan alam dan diskriminasi pada sektor-sektor publik. Gerakan Pembebasan Macan Tamil Eelam juga meraskan peperangan yang sangat getir melawan pemaksaan penggunaan bahasa Sinhala sebagai bahasa resmi di Sri Lanka, pengangkatan Budha sebagai agama resmi negara dan diskriminasi kesempatan belajar, alokasi pekerjaan serta pengangkatan pemerintahan. Menghadapi keadaan-keadaan ini, SPLA berjuang untuk mendapatkan otonomi dan reformasi dari negara pusat dan tidak memilih pemisahan diri. Sementara LTTE, di sisi lain, tidak menaruh kompromi pada tuntutannya untuk memisahkan diri dari negara pusat dan mendirikan negara Tamil. Syarat utama gerakan separatisme adalah adanya wilayah yang oleh kelompok yang dirugikan dapat diklaim sebagai miliknya dan dapat dipertahankan.

Contoh partikular adanya gejolak di beberapa negara kita untuk memisahkan diri dari pemerintahan yang syah, dalam beberapa hal mengikuti pola ini. Dominasi pemerintahan pusat atau suku Jawa dalam mengakses aset-aset politik, ekonomi dan sektor-sektor publik lainnya menjadi trigger factor lahirnya gerakan separatis dalam satu negara kesatuan. Dalam konteks inilah, barangkali benar analisa sejarah yang dilontarkan oleh Lombard bahwa ‘’Jawa’’ adalah ‘’inti dari ruang geopolitik’’ dari bangunan negara bangsa yang saat ini kita kenal sebagai bangsa Indonesia.[12]

[1] Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial,
[2] J. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia,
[3] Campbell, op. cit.
[4] Nasikun, op. cit. h. 14
[5] Nasikun, ibid.
[6] Rummel, 1977
[7] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, h. 294.
[8] Cornelis Lay, Pengantar dalam Nasionalisme Etnisitas
[9] Nasikun, op. cit.
[10] Dede Oetomo, Nasionalisme Etnisitas,
[11] Unrisd, The Search for Identity,
[12] PM Laksono, Nasionalisme Etnisitas, h. 3-12

Sumber diambil dari kuttubaco.blogspot.com

0 komentar

Posting Komentar


Tentang Saya

JAM / <foo